We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Wanita Rahasia CEO

Chapter 19
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Read Wanita Rahasia CEO by Blezzia Chapter 19

– EDISI SPESIAL 19 – Via & Sean

Jantung Via masih berdebar, dan dia kembali ke ruangan dengan perasaan masih diselimuti takut.

Bahkan sebuah pertanyaan singgah di kepala; bagaimana bila Devan masuk ke dalam?

Karena tidak ingin seseorang memasuki ruangan kerjanya secara tiba-tiba, Via pun mengunci pintu,

dan berharap bosnya, Hadley, tidak bertanya.

Begitu duduk kembali di kursi, Via berusaha untuk fokus menyelesaikan dokumen-dokumen di

komputer, tetapi tetap saja dia gelisah dan tidak tenang sehingga mencari remot AC untuk menurunkan

suhu ruangan agar lebih segar.

Sebuah bunyi ping tanda pesan masuk ke ponsel menyadarkan Via seketika. Firasatnya mengatakan

bahwa Seanlah si pengirim.

Sean: Apa kau baik-baik saja?

Lama Via mematung ketika membaca pesan yang tertera. Dia mengetik beberapa kata, lalu

menghapusnya kembali, bingung hendak mengatakan apa. Jari Via pun terhenti saat dia ingin

mengatakan ‘tidak baik-baik saja’ dan seketika Via menaruh kepala di atas meja dengan ponsel berada

di sampingnya tanpa membalas pesan tersebut.

“Aku harus menjawab apa?” gumam Via sembari memegangi rambut hingga berantakan.

Jelas sekali tadi Sean melihat posisi mereka, dan tidak mungkin Via mengatakan dia baik-baik saja

padahal vomoditarima hamamdalah

yang dia terima barusan adalah pelecehan seksual.

Dalam keadaan gelisah tersebut, dia pun menerima pesan dari Sean lagi.

Sean: Aku meminta Hadley untuk memberimu izin pulang. Beristirahatlah

selama dua hari.

Kepala Via langsung terangkat begitu dia membaca pesan itu. Sembari menggigit bibir, Via pun

hendak membalas dengan tidak usah’ tetapi lagi-lagi jarinya membeku di udara.

Suara ketukan di pintu menyentak tubuh Via, membuat ponsel di tangannya hendak melompat dari

genggaman.

Menyadari tadi dia mengunci pintu dari dalam, Via pun segera bangkit dari kursi dan membukanya

sembari mengulas senyum seolah tidak terjadi apa-apa.

“Pak Hadley,” sapa Via dengan membuka pintu lebar-lebar.

“Aku mendapat laporan dari Pak CEO tentang apa yang terjadi di Pantry,” ucap Hadley yang

melunturkan senyum Via seketika. “Apa kau ingin membicarakannya? Kami memberimu opsi untuk

melaporkan kejadian ini ke kantor poli”

2. Seketika Via menggelengkan kepala dengan cepat dan mengatakan ‘tidak’ dengan nada sedikit

histeris.

“Tidak perlu Pak Hadley! Benar-benar tidak perlu.”

Mendapati mata Via yang membulat diikuti shock, Hadley pun merasa bersalah telah menyampaikan

pesan tersebut dengan posisi berdiri.

Follow current on NovᴇlEnglish.nᴇt

“Kalau begitu … aku ingin kau pulang

saja dan biar kami yang mengurus semua,” ucap Hadley sembari menyerahkan sebuah bingkisan.

“Pak CEO merasa bersalah karena kau mengalami ini di minggu pertamamu bekerja.”

Awalnya Via hanya menatap bingkisan yang disodorkan padanya, namun melihat raut wajah Hadley

yang tampak bersimpati, membuat Via segera menerima benda itu dengan gerakan ragu-ragu.

“Ini bukan salah Pak CEO, tidak seharusnya dia memberiku_”}

“Anggap saja sebagai kompensasi. Kau tenang saja, kami akan menyelesaikan masalah ini.”

Via melirik bingkisan itu sebentar, lalu menatap Hadley bergantian sebelum akhirnya dia mengangguk

dan

UMRI…

HALUAVADUDDHAULA.

menerimanya dengan senyuman.

…………..

Begitu sampai di apartemen, Via terduduk di atas kasur dengan ponsel bermain di tangan. Dia

menatap layar ponsel lekat, seakan berharap seseorang menghubungi, yang tidak lain adalah Sean.

Namun dia harus menelan kecewa karena pria itu tampaknya sedang sibuk dan tidak lagi menanyakan

kabar Via saat ini.

Setelah pikirannya tenang kembali, barulah Via menyadari bahwa Sean masuk ke dalam ruangan

Pantry disaat yang tepat, seolah-olah pria itu memiliki telepati bahwa Via dalam keadaan bahaya. Dan

bukankah, ruangan direksi berbeda dengan gedung pantry? Untuk apa dia sampai ke sana, mencari

kopi?

Karena tidak ada yang bisa dia lakukan, Via pun memilih untuk mandi dan tidur secepatnya.

Baru saja dia hendak berbaring setelah mengeringkan rambut, saat tiba-tiba ponselnya berdering dan

nama Sean muncul di layar.

Sean: Apa kau sudah makan?

Via ingin tertawa membaca pertanyaan klasik yang biasanya dilontarkan setiap pria.

Via: Sudah, baru saja.

Dia menunggu balasan, namun teringat akan bingkisan, Via pun mengirim pesan susulan.

Via: Terima kasih atas pemberianmu tadi. Sebenarnya, itu tidak perlu.

Poborna datil zamudian sann

Beberapa detik kemudian Sean memberikan jawaban.

Sean: Anggap saja aku mentraktirmu karena insiden sebelum jam makan siang.

Balasan tersebut membuat Via teringat kembali pada kejadian tadi, dan senyum di wajahnya sedikit

pudar.

Via: Terima kasih, kau datang disaat yang tepat.

Sean: Apa dia melakukan sesuatu? Maaf, tapi aku hanya ingin tahu mungkin dia …

Kelopak mata Via mengerjab, dia tahu apa yang hendak Sean tanyakan. Sejauh mana Devan

melecehkannya.

Via: Tidak, karena kau tiba disaat dia hendak menyentuh bahu.

Lama sekali Via mendapat balasan, mengira Sean mungkin sedang

melakukan sesuatu. Dengan rasa kecewa, Via pun hendak menyimpan ponsel setelah lebih dari lima

menit menunggu, namun bubble yang muncul di bawah chat menunjukan pria itu sedang mengetik

sesuatu.

Sementara itu, pria yang sedang Via pikirkan di seberang sana sedang menahan marah setelah

membaca chat yang dia kirimkan. Bahkan rahangnya yang mengeras serta tangan yang mengepal di

setir kemudi sudah cukup menunjukan berapa besar Sean menahan diri untuk tidak memukul

seseorang.

Sean: Bagaimana dengan pemanas di apartemenmu?

Dahi Via berkerut, karena Sean merubah topik pembicaraan. Entah mengapa dia ingin Sean

mengatakan sesuatu yang menunjukan bahwa dia sedang khawatir.

Merasa pikirannya berlebihan, Via pun mengenyahkan hal tersebut. Dan setidaknya dia merasa lega,

karena dia tidak perlu mengingat kejadian traumatis siang tadi.

Via: Masih mati, pengelola bilang akan menyala sekitar tiga hari lagi.

Seketika ponsel Via beredering keras, menandakan dia mendapat panggilan. Dalam keadaan panik,

Via pun terduduk dan memencet tombol terima sembari merapikan diri, padahal Sean tidak akan

melihat penampilannya saat ini.

“Halo,” sapa Via setelah berdehem dan mencoba duduk dengan tenang.

“Kau akan mati kedinginan bila menunggu selama tiga hari,” ucap Sean

tanpa salam dengan nada tidak senang.

Via terdiam, mendengarkan kemarahan

pria itu yang lebih terdengar seperti nyanyian.

“Tapi aku tidak mau menginap di hotel,” balas Via sembari berbisik dalam hati bahwa dia tidak punya

uang walau untuk tidur di tempat itu semalam saja.

Awalnya Via mengira sambungan terputus karena Sean diam cukup lama, tetapi setelah mendengar

suara dehemannya, kekecewaan Via pun terangkat seketika.

“Kalau begitu …,” ucap Sean dengan perkataan terjeda, seolah dia sedang memikirkan sesuatu untuk

dikatakan.“

Tinggallah di apartemenku.”

Kali ini Via yang terdiam dengan jantung berdegub kencang. Kemarin Sean mengutarakan perasaan,

dan sekarang dia meminta untuk tinggal bersama? Mereka bahkan baru bertemu kurang dari

dua minggu, bagaimana bisa ini terjadi dengan cepat?

“Maaf kan aku, tapi … bolehkah aku bertanya?” bisik Via ragu-ragu.

“Tentu saja, tanyakan apa yang ingin kau tahu.”

Mendengar itu, Via menggigit bibir bawah dan setelah menarik napas, dia pun melemparkan apa yang

mengganggu benak beberapa jam terakhir.

“Mengapa kau memilihku?””

Follow current on NovᴇlEnglish.nᴇt

Terdengar tawa kecil di seberang sambungan.

“Karena aku tertarik padamu.”

Mendengar suara tawanya yang renyah, membuat Via sedikit terhanyut.

“Bukan karena kau menganggapku

mudah untuk … didapat?”

Tawa itu pun lenyap seketika, membuat Via takut pertanyaan barusan menyinggung perasaan.

Dengan sangat hati-hati, Sean berkata; ” Tidak pernah terlintas di kepalaku pemikiran seperti itu.”

Pria itu pun diam sesaat.

“Bila kau benar-benar ingin percaya, kenapa kita tidak bertemu saja dulu dan membicarakan hal ini

secara langsung sehingga kau dapat menatap mataku yang berbohong atau tidak.”

Mendengar tawaran tersebut, Via pun melirik jam di dinding yang menunjukan pukul tujuh. Sebenarnya

masih terlalu dini untuk menaiki kasur disaat orang orang baru saja memulai makan malam.

“Mmm … sekarang?”

“Ya sekarang, aku akan ke atas tiga menit lagi,” ucap Sean yang seketika membuat Via bangkit dari

kasur dan berjalan berkeliling dalam ruangan.

“Tiga menit?!” tanya Via histeris. Dia bahkan berlari ke depan kaca dan nyaris menjerit saat mendapati

penampilannya seperti orang-orangan sawah. Rambut tidak disisir yang mencuat ke segala arah,

muka sembab karena dingin, baju kedodoran berlapis-lapis; sangat tidak menarik sama sekali.

“Memangnya kau ada dimana?”

Belum sempat Sean menjawab, Via menambahkan lagi dengan satu tarikan napas.

“Beri aku waktu untuk merapikan diri!” Gadis itu segera membuka lemari dan mens hanc

mengobservasi baju-baju yang ada.

“Kau tidak memakai busana pun tidak apa-apa,” bisik Sean bermaksud tidak ingin Via dengar, tetapi

terlambat karena pipi wanita itu berubah merah saat itu juga.

“Ehem.” Sadar telah mengatakan hal barusan begitu mendengar tarikan napas Via yang tercekat,

Sean pun berdehem.” Maksudku … aku akan menunggu.”

Sean mengangkat kepala dari ponsel di tangan, kemudian menatap lurus ke depan, pada apartemen

Via.

Sejak tadi dia menunggu di luar dengan keadaan mesin mobil masih menyala, tetapi akhirnya dia

memutuskan untuk mengirimkan pesan. Padahal awalnya Sean hanya ingin tahu apakah Via baik baik

saja, namun mendengar pemanas mangan andis itu masih mati darah Sean

ruangan gadis itu masih mati, darah Sean kembali mendidih.

Sejak di kantor tadi, dia ingin menyusul Via ke sini, namun pekerjaan yang datang bertubi-tubi

menahannya dalam ruangan seharian. Dan kali ini Sean tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk

meyakinkan Via bahwa tinggal bersamanya jauh lebih baik, ketimbang membeku di apartemen yang

bangunannya nyaris roboh.

Previous Chapter

Next Chapter